Kita sering dihadapi dengan mimpi buruk kerja sama peneliti asing. Politikus
kita juga sering menjadikan ini sebagai bahan retorika politik. Doktrin yang
disampaikan sering bahwa peneliti asing datang ke Indonesia hanya untuk
memanfaatkan kita. Pertanyaannya, apakah kekhawatiran tersebut masih relevan di
era globalisasi ini?
Kenyataan di lapangan, sebagian besar pencurian data maupun pengklaiman
sumber daya kita oleh peneliti asing karena kesalahan peneliti Indonesia
sendiri. Pertama, karena tidak jelasnya komunikasi di awal dan kurangnya
komunikasi selama penelitian. Terkadang karena tidak tegasnya nota kerja sama
sebelum melakukan penelitian.
Kedua, sudah menjadi rahasia umum, malasnya sebagian peneliti kita. Hanya
ingin jalan pintas: yang penting nama ada di publikasi. Tanpa banyak mau
berkontribusi terhadap penelitiannya, baik dalam pelaksanaan maupun penulisan
jurnal hasil penelitian. Akhirnya si peneliti tidak mengetahui detail
penelitian tersebut. Sehingga manfaatnya lebih banyak didapatkan oleh peneliti
asing yang bekerja sama dengan dia. Pengklaiman terkadang terjadi karena
peneliti asing menganggap kontribusi peneliti Indonesia terhadap penelitiannya
sangat sedikit.
Mungkin ada pengecualian lain. Pendapat saya juga subjektif, tanpa melalui
riset yang komprehensif. Hanya berdasarkan pengamatan selama lima tahun
terlibat penelitian keliling berbagai pulau di Indonesia. Sebagian informasi
saya dapatkan dari hasil diskusi dengan peneliti Indonesia, maupun juga peneliti
asing yang aktif penelitian di Indonesia.
Tapi, tulisan ini tidak ditujukan untuk membahas sebab-akibat pencurian
tersebut. Tidak juga untuk menyalahkan peneliti di negara sendiri. Namun, tujuannya
untuk menyikapi kerja sama dengan peneliti asing.
Mental kita terkadang hanya mental pekerja ketika berhadapan dengan
peneliti asing. Sekedar membantu mengambil data atau hanya untuk keuntungan
ekonomi. Bukan menjadi peneliti, berkontribusi dalam mendesain dan melaksanakan
penelitian itu sendiri. Kita juga sering rendah diri. Memposisikan diri sebagai
bawahan mereka, bukan sebagai rekan dalam meneliti.
Pertama kali bekerja sama dengan peneliti asing saya tidak tahu apa-apa.
Namun, kesempatan tersebut saya manfaatkan agar bisa menjadi peneliti. Saya
juga memanfaatkan mereka untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggris saya. Saya
tidak pernah minta digaji. Apa artinya digaji tiga juta sekali penelitian dibanding
keuntungan ke depan yang tak ternilai? Mereka melihat kemauan belajar tersebut.
University of Melbourne adalah universitas terbaik di Australia dan top 50
dunia. Saya tidak pernah berpikir untuk kuliah di universitas tersebut. Mereka
yang mengundang saya. Karena supervisor saya tidak punya jatah beasiswa untuk
kuliah S2, saya diminta mencari beasiswa sendiri. Ada lima surat rekomendasi
dari mereka yang dikirimkan untuk mendaftar beasiswa. Empat diantaranya saya
gunakan untuk meyakinkan pewawancara beasiswa LPDP. Sekarang saya kuliah di
University of Melbourne dengan beasiswa LPDP.
Di tulisan sebelumnya saya pernah menyampaikan, saya juga mendapat
kesempatan untuk mengunjungi museum-museum Amerika Serikat. Dua di antaranya
merupakan museum terbesar di negara tersebut: the American Museum of Natural
History di New York dan the National Museum of Natural History di Washington,
D.C..
Tujuan kunjungan saya untuk mempelajari keanekaragaman hayati. Saya mengambil
data mereka, ‘mencuri’ teknik pengawetan sampel hewan, dan konsep pengelolaan
museum untuk mendukung pendidikan. Setengah dana kunjungan saya ditanggung
peneliti asing dan sisanya lewat beasiswa.
Pada banyak kesempatan penelitian, dana yang dipakai hampir semua dari
mereka. Modal saya hanya rasa ingin tahu dan mau berkomunikasi —berawal dari
Bahasa Inggris yang sangat terbatas tentunya. Justru malah saya yang terkesan
memanfaatkan mereka.
Kita masih terperangkap dengan mimpi buruk kolonialisme. Kenapa peneliti
asing yang datang ke Indonesia justru ditanggapi dengan kekhawatiran
berlebihan? Kenapa doktrinnya tidak dibalik? Harusnya ketika ada peneliti asing
yang datang di negara kita, justru dipikirkan untuk bisa menyerap sumber daya
mereka dan memanfaatkannya untuk kemajuan kita.
Bagaimana pun kita berusaha menutup diri, mengunci rapat-rapat akses data
maupun sumber daya kita, mereka yang tertarik meneliti tentang Indonesia pasti
bisa mendapatkannya. The Earth is indeed
round, but the world is flat. Akses data semakin gampang sekarang. Akses
transportasi juga semakin mudah. Jakarta-Melbourne hanya membutuhkan waktu
sekitar 7 jam. Sewaktu saya umur 10 tahun, dari Padang ke Jakarta saja butuh
dua hari.
Jika tidak lewat kita, mereka para peneliti asing mendapatkannya dari orang
lain. Sementara kita tidak mendapatkan apa pun. Intinya, globalisasi merupakan
kenyataan yang tak bisa dibendung. Akses terhadap informasi semakin mudah, baik
dengan datang langsung ke sumbernya maupun dari jarak jauh.
Tentunya membutuhkan kerja keras. Menutup diri dan menganggap asing sebagai
ancaman merupakan ungkapan kemalasan. Ini mungkin juga berlaku untuk investasi
asing. Dalam konteks bidang sains yang saya tekuni, keberadaan kerja sama
peneliti asing ini merupakan sesuatu yang harus didorong dan dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya. Seperti contoh yang saya sampaikan. Dari saya tidak
tahu, saya bisa memanfaatkannya untuk meningkatkan kemampuan saya. Beberapa
mustahil saya dapatkan jika hanya mengandalkan sumber daya di dalam negeri.
Dengan mengubah pola pikir, justru manfaatnya lebih banyak kita dapatkan. Kita
akan punya banyak orang yang menyibukkan diri melakukan penelitian, menjauhkan
kita dari konflik horizontal yang tidak perlu. Karena pada akhirnya kita punya
dua pilihan: menjadi pelaku globalisasi atau menjadi orang yang ditindas
olehnya.
Apakah Asing Mimpi Buruk Bagi Indonesia? Menyikapi Kerjasama Peneliti Asing
Reviewed by Tikus
on
April 29, 2017
Rating:
