Saya belum jawab apa-apa. Beberapa detik
kemudian, disusul dengan pernyataan, "Saya belum punya sertifikat kegiatan
tingkat nasional. Saya harus dapat ini".
Pertanyaan dan pernyataan itu mampir di-inbox
saya.
Tapi, bukan butuh tidaknya sertifikat yang
menjadi perhatian saya disini. Namun, lebih dari makna tersirat di isi percakapan itu. Ada kecenderungan kita lebih
banyak mengikuti kegiatan untuk mendapatkan sertifikat. Konsep penggunaan
sertifikat sekarang lebih banyak disalah artikan. Bahwa dalam berkegiatan
tujuan utamanya adalah mengejar sertifikat.
University of Melbourne, tempat saya kuliah, tidak
pernah meminta saya melampirkan sertifikat kegiatan pada aplikasi pendaftaran saya.
Bagaimana dengan mendapatkan beasiswa?
Saya penerima beasiswa LPDP. Apakah jumlah
sertifikat yang menjadi faktor penentu kelulusan saya?
Semua teman-teman sewaktu S1, tahu saya aktif
dibanyak kegiatan. Sebagian ada sertifikatnya, tapi banyak juga tanpa
sertifikat. Kegiatan yang paling berkesan bagi saya adalah kegiatan lomba
biologi. Saya memberanikan diri menjadi ketua untuk kegiatan yang sudah vakum tiga
generasi. Jika hanya untuk mengejar sertifikat, saya tidak akan memilih
mengangkatkan kegiatan ini. Resikonya sangat besar dan penuh tekanan. Kegiatan
ini mempertaruhkan nama kampus. Sudah lama tidak pernah diangkatkan lagi. Jika gagal,
saya orang pertama yang akan disalahkan.
Saya mengambil resiko itu. Karena kalau saya
tidak memberanikan diri, kegiatan ini kemungkinan besar tidak akan pernah
terlaksana lagi ke depannya. Padahal kegiatan ini penting untuk memperkenalkan
biologi. Dari tingkat Sumatera sewaktu saya angkatkan, sekarang telah menjadi tingkat
Nasional. Banyak juga manfaatnya bagi saya pribadi, mulai dari pelajaran
memimpin, meyakinkan orang, hingga mengumpulkan bala bantuan untuk
mengangkatkan kegiatan ini. Saya baru menyadari besarnya manfaat yang
didapatkan setelah acara itu selesai dilaksanakan. Sebagian besar baru saya
rasakan beberapa tahun kemudian setelah lulus kuliah.
Sewaktu akan wisuda, teman dekat komplain ke
saya, "Kenapa tidak mendaftar jadi bintang aktifis kampus? Padahal kamu
punya peluang besar untuk mendapatkannya".
Saya waktu itu baru saja menerima tawaran
penelitian ke Sulawesi. Jujur saya katakan, "Saya lebih baik fokus mengurus
persiapan penelitian ke Sulawesi, daripada mengurus pengajuan untuk menjadi
bintang aktifis kampus. Penelitian ini lebih penting daripada menjadi bintang
aktifis kampus".
Padahal penelitian ke Sulawesi hanya sebagai
voluntir. Tak ada sertifikatnya. Tak digaji juga. Saya pun menyia-nyiakan
kesempatan untuk mendapatkan label bintang aktifis kampus di CV saya. Tapi
memang, saya tidak pernah peduli dengan yang namanya label.
Ketika saya menjadi awardee LPDP, sudah pasti
bukan label bintang aktifis kampus yang meluluskan saya. Saya pun menghadapi
wawancara LPDP tanpa banyak persiapan. Ketika panggilan wawancara diterima,
saya sedang penelitian di Cirebon. Untungnya, wawancara dilaksanakan beberapa
hari setelah selesai kegiatan penelitian. Namun, saya dihadang persiapan
penelitian ke Filipina setelah itu. Di hari wawancara, saya masih harus
bolak-balik kedubes Filipina untuk mengurus visa. Selain karena tujuan ke
Filipina untuk penelitian, waktunya juga melebihi batas bebas visa yang diberikan.
Berita baiknya, jarak kedubes Filipina dan lokasi wawancara cukup
dekat.
Saya menghadapi wawancara juga tanpa Letter
of Acceptance (LoA). Tapi, modal saya ada empat surat rekomendasi dari
Australia. Surat-surat tersebut dari kepala Museums Victoria Australia, calon
supervisor saya, calon co-supervisor, dan ketua program studi di University of
Melbourne.
Ketika ditanya apakah saya yakin bisa
diterima di kampus tujuan. Saya jawab dengan mengeluarkan surat-surat tersebut.
Kerjasama penelitian dan aktifitas-aktifitas penelitian saya lah yang saya
tunjukkan untuk meyakinkan pewawancara. Itu semua dibuktikan dengan surat-surat
rekomendasi yang saya punya.
Semua surat dan pengalaman yang saya punya tentunya
tidak datang secara instan. Semuanya adalah hasil perjuangan sejak S1. Selain sering
menjadi panitia kegiatan non-akademik, saya juga aktif mencari peluang mengikuti
proyek-proyek penelitian. Tak jarang saya harus mencarinya di luar
kampus, baik lewat alumni maupun dengan peneliti-peneliti lain, termasuk peneliti
asing yang datang ke Indonesia. Saya melibatkan diri menjadi voluntir pada kegiatan
seperti ini. Saya hampir selalu katakan ya ketika ada peluang. Saya tak pernah
peduli digaji atau tidaknya. Semua yang pernah saya ikuti tanpa sertifikat. Tak
jarang saya harus meninggalkan kuliah demi ini. Saya hanya menolak ketika tak
ada lagi celah untuk meninggalkan kuliah.
Sebagian dosen sangat mengerti dengan posisi
saya. Beliau memberikan kelonggaran. Tapi, tak jarang juga menolak memberikan
izin. Dalam posisi ini, kalau ada sedikit celah saja, saya tinggalkan kuliah.
Pengaruhnya ke IPK saya. Tapi, apa bedanya IPK 3,9 dengan IPK 3,1 kalau dengan
IPK 3,1 kita bisa menjelajah pelosok negeri, berkunjung ke berbagai belahan
dunia, dan kuliah
lanjutan di luar negeri tanpa biaya pribadi?
Tapi, bukan berarti IPK tidak penting. Kita
masih butuh untuk syarat administrasi. Saya mengulang beberapa kuliah untuk
mengejar syarat ini.
Teori juga bukan hanya sekedar nilai. Saya
bukan berandalan yang hobi meninggalkan kuliah. Semua kuliah yang saya senangi saya
seriusi, sering tak mengenal batas yang dosen saya ajarkan. Saya baca
jurnal-jurnal di bidang yang menarik bagi saya. Sebagian saya kontak penulisnya
untuk mencari tahu penjelasan tertentu. Saat memulainya, butuh berminggu-minggu
hanya untuk mengerti isi satu jurnal. Ditambah lagi Bahasa Inggris saya yang
jauh dari pas-pasan waktu itu. Ketika sudah terbiasa, semua menjadi jauh lebih
mudah. Tapi, kita takkan pernah terbiasa sampai bisa melewati batas tersiksa.
Praktek saja hanya akan menjadikan kita
sebagai pekerja. Dengan memahami teori, kita bisa mendesain penelitian sendiri,
mencari dana penelitian sendiri, dan membangun pasukan untuk aktif melakukan
penelitian. Aktifitas-aktifitas penelitian ini yang memudahkan saya mendapatkan
supervisor dan banyak surat rekomendasi.
Kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan akademik membantu meningkatkan pembentukan karakter saya. Kegiatan-kegiatan
ini banyak melatih saya tentang manajemen, membangun relasi, dan menyakinkan
orang. Tapi, kita takkan pernah merasakan manfaat ini kalau targetnya hanya untuk
mengejar sertifikat.
Keberanian mengambil resiko dan kesabaran
dalam kondisi tersiksa menjadi faktor pendorong. Tapi resiko yang terukur.
Bagaimana mengukurnya? Dengan banyak membaca dan mempelajari pengalaman orang lain.
Masih Kuliah S1? Usaha Apa yang Perlu Dilakukan Agar Bisa Kuliah S2 di Luar Negeri?
Reviewed by Tikus
on
Februari 06, 2017
Rating:
