Saat saya dinyatakan lulus S1, tantangan
terbesar adalah meyakinkan banyak orang bahwa saya belum ingin memasuki dunia
pekerjaan. Tantangan berikutnya bagaimana bertahan dalam kondisi tanpa
penghasilan tetap. Setelah melihat dengan kacamata sekarang. Dua tahun yang
saya lalui tanpa penghasilan bulanan merupakan bagian paling produktif dalam
hidup saya.
Kita hidup terperangkap dengan dogma. Pilihan untuk tidak melamar pekerjaan setelah lulus kuliah selalu dipertanyakan banyak orang. Apalagi jika tidak langsung lanjut S2. Sudah berapa kesempatan saya lewatkan. Entah berapa kali saya harus menjelaskan kepada orang tua bahwa saya belum mau melamar pekerjaan. Kalau itu bukan pekerjaan yang ada hitam di atas putihnya dengan penghasilan tetap, maka dianggap tidak bekerja. Sampai sekarang ijazah saya belum pernah saya gunakan untuk melamar pekerjaan.
Saya jurusan biologi. Bukan rahasia umum, kebanyakan dari kami berakhir di
bidang yang tidak ada hubungannya dengan biologi. Banyak jurusan lain
sebenarnya juga seperti ini. Namun, saya lebih memilih bertahan dengan
keyakinan bahwa bidang saya punya peluang besar. Memang tidak mudah. Apalagi
banyak teman sudah berpenghasilan tetap, meskipun memilih jalan di luar
biologi.
Menjadi tamu khusus di San Diego Zoo, California, Amerika Serikat. Heru mendapatkan kesempatan memberi makan kura-kura Galapagos yang menurut penjaganya sudah berusia 100 tahun lebih |
Sejak awal kuliah S1 sudah diisyaratkan, tidak banyak lapangan pekerjaan tersedia
di bidang biologi. Ini bisa dilihat dari lowongan pekerjaan yang tersedia
setiap tahun, baik di perusahaan maupun di pemerintahan. Awal tahun kedua
kuliah, sering ditandai dengan eksodus besar-besaran teman seangkatan. Mereka
mengulang kembali ujian seleksi universitas dan mencoba peruntungan di jurusan
lain.
Saya mencoba melihat jurusan saya dengan perspektif yang lain. Ketika
banyak yang tak berhasil mendapatkan pekerjaan dengan ke-biologi-annya, bukan
berarti itu tidak mungkin. Sejak tahun dua kuliah saya menyibukkan diri
mengirim e-mail secara acak ke peneliti-peneliti asing di bidang yang saya
sukai. Saya membangun koneksi. Mencoba mencari peluang lain ketika peluang di
dalam negeri sangat kecil.
Hanya lima persen dari e-mail tersebut yang mendapat respon baik. Itulah
yang terus saya jaga hingga saya lulus S1, sampai sekarang sudah kuliah S2. Kontak-kontak
tersebut yang kemudian saya manfaatkan ketika saya lulus. Saya lupakan ribetnya
urusan melamar pekerjaan, mendaftar CPNS, maupun mempersiapkan diri menghadapi
wawancara pekerjaan.
Saya menyibukkan diri dengan menulis proposal penelitian. Meningkatkan
kemampuan Bahasa Inggris dan mencoba mencari jalan untuk kuliah lagi dengan
beasiswa. Walaupun banyak yang menganggap saya tidak bekerja.
Masa selama dua tahun yang selalu dianggap tidak bekerja, menjadi waktu paling
berharga yang berguna untuk hari ini. Dua proposal saya didanai dengan nilai
USD9,500. Saya juga terlibat di tiga proposal lain. Nilai ketiganya sekitar USD10,000.
Tidak banyak memang. Tapi, untuk seorang pengangguran, merupakan angka yang
cukup besar.
Dana tersebut saya gunakan untuk melakukan penelitian di beberapa gunung di
Sumatera. Melanjutkan bidang yang saya cintai. Saya juga mendapatkan hibah
cuma-cuma sebesar USD2,000 dari seorang teman peneliti. Selama dua tahun yang dianggap
tidak bekerja, saya menemui diri saya telah berada di berbagai pulau di
Indonesia. Empat pulau besar, kecuali Papua dan beberapa pulau kecil termasuk
Bangka dan Belitung.
Saya juga menemui diri saya menjadi satu-satunya orang Indonesia yang
diundang penelitian di Filipina. Penelitian ini kerja sama tiga universitas di Amerika
Serikat dengan Museum Nasional Filipina. Saya menjadi satu-satunya yang
dipercaya untuk mengkaji mamalia di lokasi penelitian di Pulau Samar, Filipina.
Saya juga berhasil meningkatkan Bahasa Inggris saya 100 poin lebih (skala TOEFL
ITP) dalam waktu sekitar enam bulan.
Pencapaian itu tidak seberapa. Tapi menjadi pelajaran berharga bagi saya.
Bahwa idelisme itu bisa dipertahankan. Keyakinan harus diperjuangkan. Bidang
yang dianggap tidak meyakinkan, sebenarnya punya peluang besar. Hanya
tergantung kacamata mana yang kita gunakan untuk melihatnya. Ketika gerombolan
tidak berhasil, maka keluarlah dari gerombolan. Kalau pun kita gagal, kita
gagal karena pilihan sendiri, bukan mengikuti orang lain. Gagal karena pilihan
sendiri selalu memberikan pelajaran yang berharga. Bukan menyesal meratapi
pilihan orang lain yang kita jalani.
Saya masih berada di tahun kedua kuliah S2. Tapi, nama saya menjadi salah
satu penulis di tiga publikasi internasional di jurnal utama di bidang saya. Salah satunya
tentang penemuan tikus hidung babi menjadi berita utama di media-media nasional
dan internasional. Majalah Times menobatkannya sebagai “Top Ten of Everything
2015”.
Saya juga mendapatkan kesempatan berkeliling di tujuh kota (enam negara
bagian) di Amerika Serikat. Ini terjadi tahun lalu. Tapi, berhubungan erat dengan
masa menganggur saya. Jika saya memilih mengikuti perkataan orang, cerita hari
ini akan berbeda.
*Jika ingin berdiskusi lebih
mendalam bisa dengan menuliskan di kolom komentar. Saya menggunakan Disqus agar
komentar lebih mudah ditelusuri. Lebih lanjut bisa juga dengan men-follow
Twitter @tikusnet dan like fan-page Tikus.Net. Subscribe e-mail anda pada kotak dibawah untuk terus mendapatkan
update blog ini.
Menganggur adalah Pilihan Terbaik dalam Hidup Saya
Reviewed by Tikus
on
Januari 07, 2017
Rating: